Jumat, 03 Mei 2024

Oke, Let's Start it !

Bismillah. Blog ini akan kembali difungsikan sebagai cloud buat menyimpan ragam cerita.

Kepengen banget punya satu alat yang bisa mendokumentasikan perjalanan dengan peran yang juga beragam.

Mulai menjadi seorang Suami yang ambisi banget pengen dapet prediket the Best Husband di mata istri, lanjut menjadi seorang Ayah yang ambisi banget pengen dapet predikat the Best Father di mata anak-anak, The Best Son, The Best Brother dan The Best-The Best lainnya.

Kalau ngelihat ke belakang, lumayan jauh juga perjalanan yang udah ditempuh..... (bersambung dulu)

Selasa, 16 Agustus 2022

Menjadi Terbaik atau Menjadi Baik

Ada banyak capaian yang lagi dipengen. Mulai dari memenuhi keinginan keluarga kecil, keinginan pribadi, keinginan keluarga di kampung, tugas-tugas kantor, ingin punya karya, ingin punya gebrakan, dan ingin-ingin lainnya.


Kalo dipikir-pikir, tiap hari dikejar terus dengan keinginan-keinginan seperti ini. Pengen sampe di titik, bahwa ini semua adalah bentuk progres hidup.


Capek juga ternyata menjadi manusia.. Yang punya banyak pengennya aja.. Tapi males buat ngelakuin buat mencapainya.. Ha


****-----*****

Belakangan mulai males baca buku, males ngembangin diri, males bangun habit positif, ke-distrak banget sama sosial media.


Kalo ditanya, tentang apa yg ada di pikiran saya sekarang


Tentang menjadi yang terbaik di kantor

Pengen liburan yang bener2 berkesan bareng keluarga kecil

Pengen ngaktifin podcast kembali sebagai salah satu media agar tetap terus berkarya

Pengen punya chanel yutub buat sharing dgn temen2



***---***




Pertanyaannya yang paling penting dijawab adalah. Apa mungkin saya menjadi yang terbaik?


Eits..

Menjadi yang terbaik atau menjadi baik..


Pilih mana?

Minggu, 12 Juli 2020

"HATI HATI DENGAN KONSEP TAARUF" (Klikbait)



Baiklah, mungkin ini agak random. Udah lama tidak menulis (lagi). Jadi mohon pemaklumannya jika rada berantakan.

Gatel juga buat ngebahas trending topic 2 hari belakangan. Perihal selebritis yang menikah dadakan tanpa proses pendekatan yang panjang. Meskipun, ini sudah jadi kaidah mainstream di lingkungan saya.

Saya sih memaklumi banyak yg merasa amaze jika nemu cerita pasangan menikah yang proses perkenalannya sangat singkat. Tidak mengenal pacaran atau apapun namanya. Sebagian menyebutnya ta'aruf.

Sebagai pasangan yang masih sangat muda dan minim pengalaman. Tentu tulisan ini tidak bisa jadi dalil. Namun setidaknya buat bahan opini tambahan. Jika ada obrolan di tongkrongan yang membahas. Oke mari kita mulai.

Bagi saya. Menikah itu bukan tujuan. Namun awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan yang panjang. Dan butuh partner untuk saling menguatkan.

Patokannya bukan waktu, untuk bisa dikatakan saling memahami di antara pasangan. Bukan jaminan, sudah puluhan tahun penjajakan, lalu kita menilai sudah klop dan tanpa masalah di kemudian hari.

Boleh jadi. Kita yang hanya 2-3 kali ketemu. Lalu kita merasa malah sudah satu visi dan memilih melanjutkan pada proses pernikahan. It's okay. Karena balik lagi, durasi perkenalan tidak bisa jadi jaminan bahwa pernikahan itu akan lebih langgeng.

Bahwa kita punya ekspektasi, itu hal yang wajar. Berpegangan pada ekspektasi itu hingga kemudian hari, itu satu hal yang lain.

Sayapun. Punya ekspektasi sebelum menikah. Apakah ekspektasi itu ada yang tidak sesuai realita? Bisa dibilang, cukup banyak. Alhamdulillah-nya, kami terus berbenah. Kami berusaha fokus pada diri sendiri ketimbang menyalahkan pasangan. (Mohon doanya kami bisa terus belajar dan bertumbuh).

Kalau baca konsep dikotomi kendali. Kita mending fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, which is diri kita sendiri. Ketimbang menyalahi pasangan kita terus-terusan.

Selain itu. Seni komunikasi juga super penting. Saya, awalnya. Menganut prinsip "speak up". Selalu berusaha mengatakan apa yang ada di pikiran/perasaan.

Ternyata juga tidak selamanya bagus. Perlu seni dalam mengkomunikasikan apa yang ada di pikiran. Kalau pepatah minang, bilang "Harimau di dalam paruik, kambiang juo lah kaluakan".

Uppss. Kesannya saya malah seperti pakar relationship. Maap keluar konteks.

Oke balik lagi. Cerita saya ketemu/berproses dengan istri juga bisa dibilang sangat singkat. Setelah menjalani proses "tukaran biodata" dengan beberapa rekomendasi guru ngaji saya yang tidak kunjung klop. Akhirnya saya "mencoba" berproses dengan salah satu karyawan saya di kantor. Yang ketika itu, ekspektasi saya cukup satu frekuensi tentang beberapa hal. Proses-pun dilanjutkan dengan ta'aruf di sebuah ruangan 3x3 ditemani "guru ngaji" masing-masing atau yang mewakili. Hehe.

Hasil obrolan 2x45 menit waktu itu menjadi bahan buat dipresentasikan ke orang tua masing2. Plus makalah tersebut juga bakal diseminarkan dalam sholat istikharah masing2. Jika lulus, proses pun dilanjutkan pada seminar hasil, sidang dan lulus alias sah.

Pertanyaannya. Apakah 2x45 menit sudah cukup untuk memastikan orang itu cocok membersamai kita? Lagi lagi, durasi tidak menjadi jaminan. Fokus kita adalah, apakah visi-nya sama. Apakah semangat menikahnya sama. Apakah mindsetnya sama. Dan hal hal prinsip lainnya.

Bahkan. Di sepanjang proses menuju nikah itu. Saya selalu memastikan bahwa "perasaan" itu tidak bertumbuh dahulu. Start permulaan rasa "kasih sayang" itu, harusnya tidak dimulai sebelum kata sah. Artinya, selalu ada kemungkinan "tidak jadi" jika memang Allah tidak takdirkan berjodoh.

Pada akhirnya. Detik pertama amanah menjadi suami itu diembankan. Detik itu juga rasa sayang mulai dan akan terus bertumbuh, insyaAllah.

Intinya. Menjalani proses ta'aruf yang menjadi konsep ajaran islam dalam menentukan pasangan pernikahan tidak perlu dianggap "aneh". Allah yang maha membolakbalikkan hati kita. Sangat mudah bagi Allah jika ingin menjaga rasa kasih sayang di antara pasangan. 🙂


Padang, 12 Juli 2020
@riohafandi

Senin, 08 Juni 2020

Cerita #2



Sore ini di tanggal 8 Juni 2020. Ayahmu sedang menunggu jam pulang kantor di ruang kerja. Di saat yang sama, Ayah sedang bertanya-tanya, kenapa Ibumu tidak mengirimkan pesan whatsapp siang ini, seperti yang ia lakukan di hari-hari sebelumnya?

Memang, hanya menanyakan lagi apa ataupun memberikan kutipan semangat. Tapi, itu sudah menjadi teman istirahat siang Ayah beberapa bulan terakhir. Dan, hari ini, pesan itu belum kunjung masuk.

Entahlah nak, bukan ayah bermaksud menuduh, tapi ayah hanya berfikir, Ibumu sedang berjuang berdamai dengan rasa mual dan pusing-pusing belakangan ini. Sebagai tanda bahwa kamu sedang berjuang juga di dalam rahimnya.

Ya. Tepat 14 hari lalu, adalah hari berbahagia bagi kami Ayah dan Ibumu, nak. Pagi itu, Ayah masih terbaring di kasur. Sisa begadang semalam cukup membuat kantuk yang berat. Malam itu Ayah pulang ke kampung. Ibumu tidak ikut. Bukan karena tidak ingin. Tapi Ayah memang tidak membolehkan. Berkendara sepeda motor tidak baik untuk seorang Ibu yang sedang menantikan kehadiran buah hatinya

Hari itu. 26 Mei 2020. Menjelang dhuha. Ibu terdengar kesal. Karena Ayah tidak berkabar sejak bangun subuh. Pesan whatsappnya tidak terbalas. Ayah ketiduran. Tidak sadar ada notifikasi. Ibu-pun memutuskan untuk telepon Ayah. Kitapun bertukar kabar meski ibu terlihat agak kesal. Entahlah. Kita (Ayah dan Ibumu) memang begitu nak. Rindu adalah diksi yang sering menjadi asbab kita saling kesal. Kita tidak terbiasa berjarak. Plus tanpa kabar.

Hari itu, Ibumu sendirian di Rumah. Biasanya ada Mama,Bapak dan Nindy (Adik Ibu). Pagi itu mereka tidak di rumah. Ke pariaman mengunjungi keluarga kakak Ibu. Ayahpun bergegas ke Padang. Semelesat mungkin.


-------------------------------- Ayah sampai rumah --------------------------------------

Sorenya. Ayah baru mendarat di Padang. Tiba-tiba. Di sela-sela sholat ashar. Ibumu memanggil. Agak keras. Semi teriak. Setahunya Ayah sedang sholat, Ibu hanya terdiam. Ayah juga. Kan lagi sholat. Hehe.
Usai sholat. Ayah bertanya.

“Kenapa han? Tadi manggil?”

“Nggak, Ga ada apa-apa” Sambil melempar senyum.

Ayah tidak penasaran waktu itu. Tidak berfikir apa-apa.
Berselang 10 menit. Ibumu kasih sesuatu.

“Alhamdulillah, Byy” Katanya sambil melihatkan plastik putih biru. Ada dua garis merah di tengahnya.

“Allahuakbar”

Dunia serasa lapang hari itu nak.
Kami berpelukan. Ayah berusaha menahan tangis.
Ayah sangat bahagia. Kami sangat bahagia.
Ayah memeluk Ibumu erat.
Sebelum tangisan pecah. Ayah segera memecah suasana. Menjadi lebih santai. Ibumu tidak sadar. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata.

Selamat datang, Nak. Yang kuat yaa.. Ujar Ayah dalam hati.

Bersambung..

Minggu, 07 Juni 2020

Cerita #1

Hari ini. Ahad, 7 Juni 2020. Aku putuskan untuk membuat cerita, tentang penantian kehadiran my baby. Harapannya. Ini bisa menjadi potret yang akan mendokumentasikan ceritaku bersama Han (My Wife) berjuang bersama, menanti kelahiran bayi kecil kita. Bismillah.

Selasa, 09 Oktober 2018

Quarter Life Crisis (Part 4)



Sambungan topik QLC - part 4

Disclaimer: Quarter Life Crisis itu masa galau di usia 20an, katanya fase transisi si remaja menuju ke dewasa.

...Jadi, mumpung usia masih semuda itu. Manfaatin buat nyoba bikin sesuatu yang keren versi kamu. Resikonya belum segede itu. Jadi ga usah terlalu banyak was-was. Gagal mah biasa.

Abis wisuda 2016 lalu. Saya nyobain banyak tempat kerja. Pindah-pindah. Sebulan dua bulan pindah. Sebulan dua bulan pindah. Begitu terus. Bahkan sampe 2 bulanan di Surabaya, 6 bulanan di Bekasi. Saya ga bisa bertahan lama di satu tempat. Ga siap. SuperGalau.

Imajinasi makin liar. Gak terima ama ketidaknyamanan ruang kerja yang lagi dijalanin waktu itu. Jadinya ga seneng ngejalaninnya. Hari-hari jadi bosenin.

Belakangan saya nyadar. Ternyata itu saya lagi di fase QLC (kayaknya).

Ampe di satu titik, saya coba berkompromi. Jalanin sesuatu dengan sabar. Bikin something yang keren versi diri sendiri. Di tempat kerja jadi panggung berkarya. Bikin inovasi. Coret-coret ide yg relevan. Ditolak idenya, biasa. Kadang kayak ngerasa idenya gak realistis, biasa. Mumpung muda, banyakin bikin karya, bikin yang ternyata salah. Gak papa.

Hobi saya Coret-coret. Bikin inovasi buat di kantor. Semuanya saya pelajarin. Bikin ide ini ide itu. Meski cuma oret-oret-an. Ampe sekarang. Saya explore semuanya. Dan ternyata ga kerasa, udah jalan setahun aja. Rasanya baru kemarin. Rasa bosen dan jenuh jadi ter-cuek-in.

Saya jadi nyimpulin. Kemaren2 itu, semacam lagi ada gelombang. Gelombang yang bikin kita galau, ngerasa gak nyaman-an. Semacam mini-ujian kehidupan. Pilihannya, kita mau nyoba ngelewatin gelombangnya, atau balik badan. Kalo balik badan, suatu saat, gelombang itu bakalan dateng lagi. Intinya gitu.

Itu juga yang saya liat adek2 yang ada di circle saya. Mereka sama persis apa yang dijalanin ama saya waktu dulu itu. Suka ga sabaran. Khawatiran. Was was. Ingin ini ingin itu. Mulai insecure dipapar ama realitas hidup.

Itu di dunia kerja. Di kampus juga sama. Kaloam yang lagi di tahun 3 tahun 4. Ga usah kejebak ama kata-kata motivator itu. Kejar passion kejar passion. Kamu udah di ujung jalan.

Belajar mencintai apa yang di depan mata. Masa' masih galau ama jurusan. Gak gitu. Ya belajar menyukai bidang studinya yang sekarang aja. Temuin kenyamanan-kenyamanan baru. Ada, tapi perlu ditemuin, dicari. Gitu-gitu.

Sampe di sini cukup dulu. Moga bisa disambung esok hari. Bye..

Quarter Life Crisis (Part 3)

(Sambungan topik QLC - part 3)

Kayaknya, salah satu kondisi yang bakal kita hadepin di fase quarter life crisis itu  adalah Gak Sabaran.

Apalagi di era serba cepat sekarang. Kita jadi suka hal-hal yang instan. Ga peduli ama proses yang panjang, tapi lebih berorientasi pada hasil.

Ya semirip di waktu kuliah. Kita ga begitu peduli ama seberapa banyak ilmu yang kita serap dari matkul itu, yang penting di portal kita dapet nilai A. Itu udah lebih dari cukup.

Kadang, kita jadi ga ngenikmatin apa yang kita kerjain. Dan konsistensi jadi masalah yang rumit. Kita paling gak bisa buat konsisten.

Boleh jadi, karena kita suka ngeliat contoh yang ada di timeline sosmed. Banyak muda-mudi yang udah pada sampe di fase keren mereka. Keliatan dari  apa yang dipamerin di sosmed. Keren dan udah kemana-mana. Kita jadi ngerasa kerdil.

Tetiba kita jadi insecure. Ngerasa ga pedean. Mulai dihantam ama realitas hidup. Cita-cita masa lalu mulai mudar. Ganti ama diksi impian baru lainnya. Yang lebih kecil dan mudah digapai.

Saya-pun ngerasa begitu. Meskipun belakangan udah mulai nyadar. Belajar ngehargain proses. Sabar ama proses yang lagi dijalanin. Percaya, kalo Tuhan pasti ngasih jalan ama kita yang mau usaha.

Kan udah dibilang juga. Akan ada kemudahan dibalik kesulitan yang lagi kita tempuh. Bahkan Tuhan ngulang ayat yang sama dua kali.

Tugas kita bertumbuh. Jadi subjek bukan objek. Ga tergantung ama lingkungan yang bisa bikin insecure, tapi sebaliknya, kita yang nyiptain lingkungan yang bisa ngasih insightful.

Percaya aja. Fase galau usia 20an ini bakalan lewat. Ini hanya fase transisi. Bikin aja sesuatu yang keren versi kamu. Ga usah larut dalam kecemasan itu.

Sementara sampe sini dulu. Kesempatan lain kita sambung.

Kalo ada cerita kalian yang bisa dishare, monggo.

Bisa email saya di riohafandi@gmail.com.

Salam :')

Oke, Let's Start it !

Bismillah. Blog ini akan kembali difungsikan sebagai cloud buat menyimpan ragam cerita. Kepengen banget punya satu alat yang bisa mendokumen...