Baiklah, mungkin ini agak random. Udah lama tidak menulis (lagi). Jadi mohon pemaklumannya jika rada berantakan.
Gatel juga buat ngebahas trending topic 2 hari belakangan. Perihal selebritis yang menikah dadakan tanpa proses pendekatan yang panjang. Meskipun, ini sudah jadi kaidah mainstream di lingkungan saya.
Saya sih memaklumi banyak yg merasa amaze jika nemu cerita pasangan menikah yang proses perkenalannya sangat singkat. Tidak mengenal pacaran atau apapun namanya. Sebagian menyebutnya ta'aruf.
Sebagai pasangan yang masih sangat muda dan minim pengalaman. Tentu tulisan ini tidak bisa jadi dalil. Namun setidaknya buat bahan opini tambahan. Jika ada obrolan di tongkrongan yang membahas. Oke mari kita mulai.
Bagi saya. Menikah itu bukan tujuan. Namun awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan yang panjang. Dan butuh partner untuk saling menguatkan.
Patokannya bukan waktu, untuk bisa dikatakan saling memahami di antara pasangan. Bukan jaminan, sudah puluhan tahun penjajakan, lalu kita menilai sudah klop dan tanpa masalah di kemudian hari.
Boleh jadi. Kita yang hanya 2-3 kali ketemu. Lalu kita merasa malah sudah satu visi dan memilih melanjutkan pada proses pernikahan. It's okay. Karena balik lagi, durasi perkenalan tidak bisa jadi jaminan bahwa pernikahan itu akan lebih langgeng.
Bahwa kita punya ekspektasi, itu hal yang wajar. Berpegangan pada ekspektasi itu hingga kemudian hari, itu satu hal yang lain.
Sayapun. Punya ekspektasi sebelum menikah. Apakah ekspektasi itu ada yang tidak sesuai realita? Bisa dibilang, cukup banyak. Alhamdulillah-nya, kami terus berbenah. Kami berusaha fokus pada diri sendiri ketimbang menyalahkan pasangan. (Mohon doanya kami bisa terus belajar dan bertumbuh).
Kalau baca konsep dikotomi kendali. Kita mending fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, which is diri kita sendiri. Ketimbang menyalahi pasangan kita terus-terusan.
Selain itu. Seni komunikasi juga super penting. Saya, awalnya. Menganut prinsip "speak up". Selalu berusaha mengatakan apa yang ada di pikiran/perasaan.
Ternyata juga tidak selamanya bagus. Perlu seni dalam mengkomunikasikan apa yang ada di pikiran. Kalau pepatah minang, bilang "Harimau di dalam paruik, kambiang juo lah kaluakan".
Uppss. Kesannya saya malah seperti pakar relationship. Maap keluar konteks.
Oke balik lagi. Cerita saya ketemu/berproses dengan istri juga bisa dibilang sangat singkat. Setelah menjalani proses "tukaran biodata" dengan beberapa rekomendasi guru ngaji saya yang tidak kunjung klop. Akhirnya saya "mencoba" berproses dengan salah satu karyawan saya di kantor. Yang ketika itu, ekspektasi saya cukup satu frekuensi tentang beberapa hal. Proses-pun dilanjutkan dengan ta'aruf di sebuah ruangan 3x3 ditemani "guru ngaji" masing-masing atau yang mewakili. Hehe.
Hasil obrolan 2x45 menit waktu itu menjadi bahan buat dipresentasikan ke orang tua masing2. Plus makalah tersebut juga bakal diseminarkan dalam sholat istikharah masing2. Jika lulus, proses pun dilanjutkan pada seminar hasil, sidang dan lulus alias sah.
Pertanyaannya. Apakah 2x45 menit sudah cukup untuk memastikan orang itu cocok membersamai kita? Lagi lagi, durasi tidak menjadi jaminan. Fokus kita adalah, apakah visi-nya sama. Apakah semangat menikahnya sama. Apakah mindsetnya sama. Dan hal hal prinsip lainnya.
Bahkan. Di sepanjang proses menuju nikah itu. Saya selalu memastikan bahwa "perasaan" itu tidak bertumbuh dahulu. Start permulaan rasa "kasih sayang" itu, harusnya tidak dimulai sebelum kata sah. Artinya, selalu ada kemungkinan "tidak jadi" jika memang Allah tidak takdirkan berjodoh.
Pada akhirnya. Detik pertama amanah menjadi suami itu diembankan. Detik itu juga rasa sayang mulai dan akan terus bertumbuh, insyaAllah.
Intinya. Menjalani proses ta'aruf yang menjadi konsep ajaran islam dalam menentukan pasangan pernikahan tidak perlu dianggap "aneh". Allah yang maha membolakbalikkan hati kita. Sangat mudah bagi Allah jika ingin menjaga rasa kasih sayang di antara pasangan. 🙂
Padang, 12 Juli 2020
@riohafandi