Pixabay
Menjelang wisuda S1 di 2016. Saya mendirikan sebuah komunitas yang diberi nama Padang Kreatip. Sebuah gagasan social movement, bermimpi untuk membagikan ilmu-ilmu kreativitas sederhana kepada warga kampung di pelosok kota Padang. Semua berjalan sesuai harapan.
Lagi-lagi, akibat mengerjakan sesuatu tanpa kematangan berfikir. Semua dijalankan dengan gaya sporadis. Tidak ada narasi yang solid di dalamnya. Gerakan hanya berbasis hasrat dan angan-angan. Dampaknya menjadi tidak kokoh. Kejenuhan-pun tega menghampiri kami.
Saya memutuskan untuk "pivot". Rehat dulu sejenak. Padang Kreatip tidak bisa dipaksakan. Fondernya terlalu arogan dan lupa diri. Saya berhenti.
Hingga di beberapa momen. Saya bertemu banyak orang di Kota. Saya pergi meninggalkan kampung. Sejenak ingin merasakan hidup di luar. Terhitung sekitar 3 bulan menjalani hidup di Surabaya, dan 6 bulan hidup di Jakarta.
Hingga di satu titik. Saya seperti berkontemplasi. Saya mencoba berdiskusi dengan diri sendiri. Menanyakan kembali kabar saya sendiri dalam obrolan dari hati ke hati. Terdengar aneh? Memang. Barangkali memang aneh. Karena tidak biasanya dalam kehidupan mainstream, orang berdiskusi dengan dirinya sendiri.
Tapi benar. Itu yang saya lewati.
Hingga di kemudian hari.. Hingga di titik ini.. Saya mulai nyaman dan belajar menakar kapasitas diri. Mengatur ritme angan-angan yang kadang tidak terkontrol. Tawaran ini-itu dari beragam instansi dan beberapa orang kawan, saya bisa tolak dengan pertimbangan (yang biasanya membuat saya ujub dan membanggakan diri).
Karena hari ini, sayapun bisa memilih keputusan dari daftar pilihan-pilihan yang ada untuk menyambut kehidupan masa depan. Tanpa keragu-ragu-an, tanpa ke-khawatir-an. Tapi lebih plong. Lebih nyaman. Lebih mendamaikan.
Meskipun saya akan terus belajar. Belajar mengenal diri. Saya teringat sebuah pepatah minang.
"Ukua badan jo bayang-bayang"
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar