Dek, pagi ini, aku sedang menikmati
kesendirian di ruangan kantor yang begitu sunyi. Detak jam daritadi tidak
pernah hening, terdengar lebih keras dari biasanya. Rekan-rekan se-kantor
sedang bertugas di luar. Aku hanya sendiri menatap layar laptop dan menulis
ini.
Dek, tulisan ini kutulis untuk-mu. Aku tidak
tahu, tentang kapan kamu akan membacanya. Yang jelas, kelak. Saat pertemuan
kita terselenggara, aku akan kirimkan alamat blog ini untuk-mu. Agar kamu bisa
membacanya sebagai kisah tentang penantian-ku untukmu.
Dek, kamu apa kabar di sana? Semoga masih
kuat bersabar menantikan momen pertemuan kita. Aku juga tidak tahu soal waktu.
Yang ku-tahu, pertemuan kita sudah terjadwal-kan. Rapi tertulis di lauhul
mahfudz, sebuah buku takdir yang lengkap dengan skenario terbaik-Nya.
Kita harus percaya, dek. Tugas kita percaya.
Di saat-saat menjelang masa temu tersebut, kita sedang saling menyiapkan dan
memantaskan diri. Untuk bisa salilng memiliki satu sama lain. Kita harus
meyakini tentang takdir Tuhan.
Dek, kamu tidak perlu risau dan bimbang.
Tentang apakah kita akan dipertemukan Tuhan atau tidak. Yang pasti, jika-pun
temu kita tak kunjung terselenggara di dunia, semoga surga adalah tempat kita
menagih hak kita untuk bisa bersua.
Aku tak tahu. Kamu sedang dimana dan sedang
melakukan apa. Yang kutahu, di sini, aku sedang menata diri agar bisa
mendampingi-mu kelak. Kata Tuhan, yang baik akan dipertemukan dengan yang baik.
Maka, dengan terus belajar menjadi manusia baik, aku berharap, itu menjadi
bahan negosiasi-ku bersama Tuhan, agar kita segera layak untuk di-sandingkan.
Dek, empat hari yang lalu. Menjelang dini
hari. Seorang kakak menghubungi-ku melalui pesan whatsapp, katanya, ada seorang
perempuan yang siap menikah. Dia ingin memulai komunikasi denganku, kita sebut
saja prosesi ta’aruf. Aku tidak ingin tahu siapa orang-nya. Karena, hari itu,
dan sampai hari ini, aku belum siap menikah. Aku hanya menjawab, bahwa aku
belum siap untuk menikah. Percakapan itu-pun usai.
Dek, aku memang lelaki yang lemah. Tidak
punya mental pemberani. Penakut. Entahlah. Yang pasti, ke-belum-siap-an-ku itu
bukan tidak berdasar. Bagiku, menikah adalah pertaruhan yang besar. Menjemput
sebuah amanah dan tanggung jawab yang harus siap diemban. Ini bukan soal usia
dan ke-dewasa-an saja. Ia lengkap dengan mental dan yang lebih penting dari
itu, ia adalah sebuah panggilan. Panggilan takdir dari Tuhan yang maha kuasa.
Dek, aku tak tahu. Apakah perempuan itu
kamu? Yang jelas. Aku tidak sedang ingin me-nunda-nunda. Bukan soal menikmati
durasi kesendirian. Namun, aku merasa, hari ini, panggilan itu memang belum
kunjung datang.
Dek, usai percakapan itu. Ada seorang teman
yang menelvon-ku esoknya. Katanya, ada seorang Ustadzah yang ingin meminta
kontak yang bisa dihubungi sebagai perantara. Ada perempuan yang juga siap untuk menikah.
Jawabanku sama, dek. Aku belum siap.
Dek, dimanapun kamu kini. Semoga Tuhan
selalu memberkahi tiap langkah kita. Aku percaya, sejauh apapun ku menjauh.
Sang jodoh pasti-kan dipertemukan. Kamu-pun begitu dek. Tidak perlu risau dan
gelisah. Sangat mudah bagi Tuhan hanya sekadar mempertemukan kita. Hanya saja,
barangkali memang belum waktunya, tugas kita bersabar dan terus belajar.
Belajar menjadi manusia baik di tiap hari-hari kita.
Salam Rindu, dari Calon Suami-mu
9 April 2018